Kebahagiaan adalah dambaan setiap insân (manusia), ia merupakan suatu keadaan dimana tercapainya perasaan aman, damai dan gembira dalam hidup manusia. Kebahagiaan adalah sesuatu yang berhubungan dengan tercapainya tujuan hidup manusia yaitu kesenangan, baik secara jasmani maupun rohani.
Kebahagiaan, dapat dikatakan sebagai kesempurnaan hidup atau kesejahteraan hidup, ketika tercapainya perasaan aman damai serta gembira. Dengan demikian kebahagiaan amat berkait dengan pencapaian yang khusus, seperti terkabulnya cita-cita dan ia juga berkait dengan keadaan yang lebih umum seperti kesenangan hidup atau kehidupan berumah tangga.
Di zaman modern ini, pembahasan tentang kebahagiaan semakin menjadi penting. Salah satu penyebabnya adalah berkembang pesat dan kuatnya implikasi peradaban Barat yang cenderung memuja materi dan kelalaian untuk membangun jiwa (spiritualitas), sebagai dampak dari industrialisasi dan peradaban Barat yang kering dari nilai-nilai spiritualitas. Sehingga modernisme telah gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Padahal, kebahagiaan tidak bisa dipisahkan dari agama sebagai aspek yang fundamental dalam kehidupan manusia.
Di samping itu, pembahasan tentang kebahagiaan sangat terkait erat dengan kondisi kejiwaan manusia yang berada dalam kehidupan yang cenderung mengabaikan nilai-nilai ke-Tuhan-an. Hal ini relevan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia yang sangat komplek dalam hidupnya, sehingga memunculkan alienasi, baik terhadap lingkungan maupun dirinya sendiri. Padahal, sebagai makhluk yang lemah manusia sangat tergantung kepada Kekuatan Yang Maha Kuasa (Tuhan) untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan. Meninggalkan agama bagi manusia, merupakan satu musibah besar kepada manusia itu sendiri. Sebagai Pencipta Manusia, maka tentunya Tuhan merupakan tempat kembali dan tempat manusia mangadukan persoalan-persoalan hidupnya.
Menurut Syeikh Fadhlalla, seorang pendukung neo-sufisme, sebagaimana dikatakan H.A Rivay Siregar, dalam suasana kehidupan yang menyesakkan dan mengungkung kemerdekaan ruhani, masih banyak tokoh dan pemikir yang menyuarakan solusi dan jalan keluar, yakni bahwa pesan-pesan sufisme Islam (tasawuf) lebih tepat dan cepat mengatasi gejolak dunia yang semakin materialistik-konsumeristik, dengan demikian, nampaknya perkembangan masyarakat (manusia) era modern, tidak lagi memadai dengan disuguhi sekadar literalisme doktriner keagamaan belaka, tapi masyarakat masa kini memerlukan pengalaman keagamaan yang lebih intens, lebih menusuk dalam pencarian nilai dan makna karena manusia adalah makhluk yang dinamis dan selalu beradaptasi dengan segala macam situasi dan kondisi untuk meraih kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu jalan tasawuf dirasakan dapat dijadikan sebagai sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
Beranjak dari kondisi manusia di atas, menurut M. Solihin, tasawuf merupakan alternatif paling tepat mengatasi aneka problematika manusia, dengan pertimbangan, yaitu:
Pertama, kehidupan asketis adalah basis yang bersifat fitri pada manusia. Ia merupakan potensi ilâhiyah dalam diri manusia yang berfungsi diantaranya untuk mewarnai corak peradaban dunia. Tasawuf mampu mewarnai segala dimensi kehidupan, baik sosial dan politik maupun peradaban.
Kedua, tasawuf berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol manusia agar dimensi kemanusiaan tidak ternoda oleh modernisasi yang mengarah kepada dekadensi moral, sehingga tasawuf mengantarkan manusia untuk menuju akhlak yang sempurna dan terpuji.
Ketiga, tasawuf mempunyai relevansi dengan masaalah kehidupan manusia modern, karena keseimbangan tasawuf memberikan kesejukan batin dan ketaatan kepada Allah SWT.
Berdasarkan elaborasi di atas, terlihat bahwa tasawuf dibutuhkan oleh manusia modern dalam rangka menghadapi tantangan modernitas. Sebab, bagaimanapun juga, yang hilang dari manusia modern yang telah menguasai teknologi adalah nilai-nilai ke-Tuhan-an. Nilai-nilai ke-Tuhan-an itu terdapat dan dipupuk dalam tasawuf secara mendalam. Nilai-nilai spiritual tasawuf telah lama disajikan dan diaplikasikan oleh para sufi mulai dari zaman klasik sampai zaman modern sekarang ini. Dengan demikian, tasawuf ialah ajaran-ajaran yang berupaya berada sedekat mungkin dengan Allah agar manusia mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya. Terkait dengan itu secara keilmuan, masalah kebahagiaan pernah menjadi perdebatan sengit dan panjang-lebar dikalangan pemikir Islam dan Barat. Namun pada hakikatnya, mereka sama-sama memberikan konsep dan pemikiran yang utuh mengenai pengertian dan langkah-langkah meraih kebahagiaan.
Menurut pandangan Islam, kebahagiaan terkandung dalam istilah sa’adah dan ia mempunyai pertalian dengan kehidupan di dunia dan di akhirat, kebahagiaan di akhirat merupakan puncak kebahagiaan yang tiada berakhir iaitu kesenangan dan nikmat yang berkekalan yang dijanjikan Allah semasa hidupnya di dunia ini, penyerahan diri kepada Allah dan taat segala perintah dan larangannya. Justeru itu pertalian yang rapat di antara kebahagiaan dunia dan akhirat adalah merangkumi pertama, diri, iaitu ilmu dan sifat yang terpuji, kedua, badan iaitu kesihatan badan keselamatan dan yang ketiga adalah selain dari diri dan badan iaitu material dan lain-lain, kesemuanya ini berperanan menggalakkan kesejahteraan diri dan badan serta perkara yang berkaitan dengannya.
Dalam maksud yang sama Allah SWT berfirman dalam surah Al-Fajr, ayat 27 hingga 30:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Artinya :
“ Wahai insan-insan yang berjiwa tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diredainya, maka masuklah kamu ke dalam kumpulan hamba-hamba ku yang berbahagia dan masuklah kamu kedalam SyurgaKu”
** Artikel ini adalah sebahagian dari introduksi yang penulis paparkan dalam Tesis Master( S2) nya
No comments:
Post a Comment