Thursday 26 January 2012

Kesejahteraan hidup dan ketenangan .





Kebahagiaan adalah dambaan setiap insân (manusia), ia merupakan  suatu keadaan dimana tercapainya perasaan aman, damai dan gembira dalam hidup manusia. Kebahagiaan adalah sesuatu yang berhubungan dengan  tercapainya tujuan  hidup manusia yaitu kesenangan, baik secara  jasmani maupun rohani.
Kebahagiaan, dapat dikatakan sebagai kesempurnaan hidup atau kesejahteraan hidup,  ketika tercapainya perasaan aman damai serta gembira. Dengan demikian kebahagiaan amat berkait dengan pencapaian yang khusus, seperti terkabulnya cita-cita dan ia  juga berkait dengan keadaan yang lebih umum seperti kesenangan hidup atau kehidupan berumah tangga.
Di zaman modern ini, pembahasan tentang kebahagiaan semakin menjadi penting. Salah satu penyebabnya adalah berkembang pesat dan kuatnya implikasi peradaban Barat yang cenderung memuja materi dan kelalaian untuk  membangun jiwa (spiritualitas), sebagai dampak dari industrialisasi dan peradaban Barat yang kering dari  nilai-nilai spiritualitas. Sehingga modernisme telah  gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Padahal, kebahagiaan tidak bisa dipisahkan  dari agama sebagai aspek yang fundamental dalam kehidupan manusia.
Di samping itu, pembahasan tentang kebahagiaan sangat terkait erat dengan  kondisi kejiwaan  manusia yang berada dalam kehidupan yang cenderung mengabaikan  nilai-nilai ke-Tuhan-an. Hal ini relevan  dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia yang sangat komplek dalam hidupnya, sehingga memunculkan alienasi, baik terhadap lingkungan maupun dirinya sendiri. Padahal, sebagai makhluk yang lemah manusia  sangat tergantung kepada  Kekuatan Yang Maha Kuasa (Tuhan) untuk mengatasi berbagai  masalah kehidupan. Meninggalkan agama bagi manusia, merupakan  satu musibah besar kepada manusia itu sendiri. Sebagai Pencipta Manusia, maka tentunya Tuhan  merupakan tempat kembali dan tempat manusia mangadukan  persoalan-persoalan hidupnya.
Menurut Syeikh Fadhlalla, seorang  pendukung neo-sufisme, sebagaimana dikatakan  H.A Rivay Siregar, dalam suasana kehidupan yang menyesakkan dan mengungkung kemerdekaan ruhani, masih banyak tokoh dan pemikir yang menyuarakan  solusi dan jalan keluar, yakni  bahwa pesan-pesan sufisme Islam (tasawuf) lebih tepat dan cepat mengatasi gejolak dunia yang semakin  materialistik-konsumeristik, dengan demikian, nampaknya perkembangan  masyarakat (manusia) era modern, tidak lagi memadai  dengan disuguhi sekadar literalisme doktriner keagamaan belaka, tapi masyarakat masa kini memerlukan  pengalaman keagamaan yang lebih intens, lebih menusuk dalam  pencarian nilai dan makna karena manusia adalah makhluk yang dinamis dan selalu beradaptasi dengan segala macam situasi dan kondisi untuk meraih  kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu jalan tasawuf  dirasakan dapat dijadikan sebagai sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya  mencapai keutuhan manusia.
Beranjak dari kondisi manusia di atas, menurut M. Solihin, tasawuf merupakan alternatif paling tepat mengatasi aneka problematika manusia, dengan pertimbangan, yaitu:
Pertama, kehidupan asketis  adalah basis yang bersifat fitri pada manusia. Ia merupakan potensi ilâhiyah dalam diri manusia yang berfungsi diantaranya untuk mewarnai corak peradaban dunia. Tasawuf mampu mewarnai segala dimensi kehidupan, baik sosial dan politik maupun peradaban.
Kedua, tasawuf berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol manusia agar dimensi kemanusiaan  tidak ternoda oleh modernisasi yang mengarah kepada dekadensi moral, sehingga tasawuf mengantarkan manusia untuk menuju akhlak yang sempurna dan terpuji.
Ketiga, tasawuf mempunyai relevansi dengan masaalah  kehidupan manusia modern, karena keseimbangan tasawuf memberikan  kesejukan batin dan ketaatan kepada Allah SWT.
Berdasarkan elaborasi di atas, terlihat bahwa tasawuf dibutuhkan oleh manusia modern dalam rangka  menghadapi tantangan  modernitas. Sebab, bagaimanapun juga, yang hilang dari manusia modern yang telah menguasai teknologi adalah nilai-nilai ke-Tuhan-an. Nilai-nilai ke-Tuhan-an itu terdapat dan dipupuk dalam  tasawuf secara mendalam. Nilai-nilai spiritual tasawuf telah lama  disajikan dan diaplikasikan  oleh para sufi mulai dari zaman klasik sampai zaman modern sekarang ini. Dengan demikian,  tasawuf  ialah ajaran-ajaran  yang berupaya berada sedekat mungkin dengan Allah agar manusia mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya. Terkait dengan itu secara keilmuan, masalah kebahagiaan pernah menjadi perdebatan sengit dan panjang-lebar dikalangan pemikir Islam dan Barat. Namun pada hakikatnya, mereka sama-sama memberikan konsep dan pemikiran  yang utuh mengenai pengertian dan langkah-langkah meraih kebahagiaan.
Menurut pandangan Islam, kebahagiaan terkandung dalam istilah sa’adah  dan ia mempunyai pertalian dengan kehidupan  di dunia dan di akhirat,  kebahagiaan  di akhirat merupakan  puncak kebahagiaan yang tiada berakhir  iaitu kesenangan  dan nikmat yang berkekalan yang dijanjikan Allah semasa hidupnya di dunia ini,  penyerahan diri kepada Allah dan taat segala perintah dan larangannya.  Justeru  itu pertalian yang rapat di antara kebahagiaan dunia dan akhirat  adalah merangkumi pertama, diri,  iaitu  ilmu dan sifat yang terpuji, kedua, badan  iaitu kesihatan badan keselamatan  dan yang  ketiga adalah selain dari diri dan badan  iaitu  materiadan lain-lain, kesemuanya ini berperanan menggalakkan kesejahteraan diri dan badan  serta perkara yang berkaitan dengannya.
Dalam maksud yang sama  Allah SWT berfirman dalam surah Al-Fajr, ayat 27 hingga  30:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ   ﴿٢٧﴾   ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً    مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي   ﴿٢٩﴾    وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Artinya :
 “ Wahai insan-insan yang berjiwa tenang, kembalilah  kepada Tuhanmu  dengan hati yang puas lagi  diredainya, maka masuklah kamu ke dalam kumpulan hamba-hamba ku yang berbahagia  dan masuklah kamu kedalam SyurgaKu” 


** Artikel ini adalah sebahagian dari introduksi  yang penulis  paparkan dalam Tesis Master( S2) nya 

No comments:

Post a Comment