Saturday 28 January 2012

Pengertian Kebahagiaan



                                                              Pengertian Kebahagiaan            

Dari segi etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  kata bahagia terpecah menjadi tiga kata, yaitu bahagia, membahagiakan, dan kebahagiaan. Bahagia berarti beruntung, keadaan atau perasaan senang, tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Membahagiakan berarti membuat bahagia, sedangkan kebahagiaan berarti perasaan bahagia, kesenangan, ketenteraman hidup (lahir dan batin), keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir dan batin.
Menurut Jalaluddin Rahmat, dalam bukunya Renungan-renungan Sufistik,  mengemukakan pengertian bahagia yang berasal dari kalimah bahasa Arab yaitu sa'adah, yang berarti keberuntungan atau kebahagiaan. Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan bahagia secara etimologi adalah rasa senang, untung, tenteram dan sejahtera lahir batin.
Sedangkan pengertian bahagia secara terminologi dapat dilihat dalam  berbagai tulisan, akan tetapi pengertian tersebut hampir sebanyak pemikimya. Perkara ini bukanlah sesuatu yang mengherankan karena bahagia itu merupakan hal yang berkaitan dengan perasaaan dan bersifat subjektif. Oleh sebab itu ternyatalah bahawa tafsiran bahagia adalah berdasarkan konsep dan pemikirannya masing-masing. Untuk melengkapi kajian ini penulis akan mengemukakan beberapa pendapat dan pemikiran tentang konsep kebahagiaan secara terminologi.  Menurut al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Hamka,  bahagia  tiap-tiap sesuatu adalah  bila dirasai nikmat kelezatannya, dan kelezatan itu adalah menurut tabi’at kejadian masing-masing. Sedangkan kelezatan hati adalah  teguh ma’rifat kepada Allah SWT,  karena hati dijadikan untuk mengingat Allah SWT dan itulah kebahagiaan sejati.
Menurut Abdul Aziz el-Qussy, orang yang sungguh-sungguh bahagia adalah orang yang mempunyai kepribadian yang kuat dan selalu berusaha mencapai tujuan tertentu yang mulia dan dorongan-dorongannya tidak bertentangan dengan kemanusiaan.Dalam hal ini dibutuhkan usaha untuk melaksanakan ide yang mulia yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan usaha ini merupakan ketinggian integritas akhlak.
Menurut Leo Tolstoy, seorang pujangga Rusia (1818 - 1910) sebagaimana dijelaskan oleh Hamka dalam Tasawuf Moden, bahwa bahagia itu terbagi kepada dua, yaitu bahagia untuk dirinya sendiri dan bahagia untuk bersama, bahagia untuk diri sendiri sulit untuk dicapai karena tidak melalui pergaulan dengan masyarakat. Dengan adanya hubungan bermasyarakat akan timbul rasa untuk saling tolong-menolong antara sesama manusia, karena hubungan antara satu dengan yang lainnya tidak dapat diputuskan. Manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak dapat hidup sendiri. Dengan kata lain, manusia dalam mengharungi bahtera kehidupan saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Sedangkan bahagia untuk bersama adalah mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Dengan dasar inilah kebahagiaan dapat ditegakkan dalam masyarakat. Setelah adanya kebahagiaan dalam masyarakat, baru sempurna kebahagiaan pada diri sendiri.
Menurut Hamka kebahagiaan ialah sesuatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing, dan kesenangan itu merupakan tujuan setiap orang. Di samping itu, lebih lanjut dikatakan Hamka bahagia yang sempurna tersusun dari beberapa unsur  yaitu: .
1.      Badan sehat, panca indera cukup
2.     Cukup kekayaan; suka menoiong fakir miskin, menunjukkan jasa     
         baik kepada sesama manusia, sehingga beroleh nama baik
3.     Indah sebutan di antara manusia, terpuji dan dermawan, serta     
        setiawan dan ahli pikir. Tercapai cita-cita dalam hidup
4.     Tajam pikiran, sempurna kepercavaan dalam beragama dan    
        terhindar dari  kesalahan.
Berdasarkan pemikiran di atas, yang dimaksud Hamka  adalah, urut-urutan untuk mencapai kebahagiaan jiwa, diawali oleh kebahagiaan badan, seperti penglihatan yang terang, pendengaran nyaring, penciuman tajam, perasaan halus dan berbadan sehat. Lalu diikuti oleh unsur-unsur lainnya seperti harta benda yang cukup, indah budi bahasa, cita-cita yang tinggi dan daya pikir yang tajam. Sedangkan menurut Naquib al-Attas, kebahagiaan adalah sesuatu perkara yang mempunyai hubungan kuat antara dunia dan akhirat, ianya terdiri dari tiga peringkat, dua daripadanya melibatkan hidup didunia ini  dan satu lagi diakhirat  
Beranjak dari pengertian di atas dapat dipahami, bahwa istilah  kebahagiaan dan kelazatan adalah berdasarkan kepada tabi’at kejadian masing-masing dan dapat dirasakan oleh setiap anggota badan manusia, kenikmatan, kelazatan dan kesenangan  yang dirasakan tersebut seperti nikmat mata melihat rupa yang indah, nikmat telinga mendengar sesuatu yang merdu, dan nikmat anggota badan lainnya. Hal ini merupakan kenikmatan dan kelezatan yang hanya bersifat sementara. Sedangkan kenikmatan dan kelezatan sejati adalah yang dirasakan oleh hati, yakni teguh makrifat kepada Allah. Kelazatan hati terletak pada kesempurnaan iman dan ibadah. Dengan demikian, setiap manusia akan berusaha mencari dan  meraih kebahagiaan yang hakiki, yaitu terdapatnya ketenangan jiwa.  
Setiap orang yang beriman ingin menemui kebahagiaan dan akan dapat memperoleh keinginan tersebut. Kebahagiaan dan ketenangan batin itu diberikan oleh Allah SWT tanpa memandang miskin atau kayanya seseorang, tetapi kepada orang yang beriman dan beramal soleh dan selalu mengerjakan yang disuruh Allah SWT dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Oleh karena itu,  orang yang rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah akan dapat menikmati kedamaian dan ketenangan dalam hidup serta menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Akan tetapi, harta yang banyak, pangkat yang tinggi atau kekuasaan yang tinggi tidak menjamin seseorang untuk rnenemukan ketenangan batin. Hal ini  dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari seperti orang kaya tidak menemukan kebahagiaan dalam hidupnya karena dihantui oleh perasaan takut, seperti takut dirampok, hilang, habis dan sebagainya. Begitu juga dengan pangkat dan kedudukan akan dapat membawa seseorang kepada kegelisahan dan bahkan pembunuhan.

    Artikel ini adalah merupakan sebahagian daripada isi kandungan Tesis Master ( S2) penulis.

     

Thursday 26 January 2012

Kesejahteraan hidup dan ketenangan .





Kebahagiaan adalah dambaan setiap insân (manusia), ia merupakan  suatu keadaan dimana tercapainya perasaan aman, damai dan gembira dalam hidup manusia. Kebahagiaan adalah sesuatu yang berhubungan dengan  tercapainya tujuan  hidup manusia yaitu kesenangan, baik secara  jasmani maupun rohani.
Kebahagiaan, dapat dikatakan sebagai kesempurnaan hidup atau kesejahteraan hidup,  ketika tercapainya perasaan aman damai serta gembira. Dengan demikian kebahagiaan amat berkait dengan pencapaian yang khusus, seperti terkabulnya cita-cita dan ia  juga berkait dengan keadaan yang lebih umum seperti kesenangan hidup atau kehidupan berumah tangga.
Di zaman modern ini, pembahasan tentang kebahagiaan semakin menjadi penting. Salah satu penyebabnya adalah berkembang pesat dan kuatnya implikasi peradaban Barat yang cenderung memuja materi dan kelalaian untuk  membangun jiwa (spiritualitas), sebagai dampak dari industrialisasi dan peradaban Barat yang kering dari  nilai-nilai spiritualitas. Sehingga modernisme telah  gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Padahal, kebahagiaan tidak bisa dipisahkan  dari agama sebagai aspek yang fundamental dalam kehidupan manusia.
Di samping itu, pembahasan tentang kebahagiaan sangat terkait erat dengan  kondisi kejiwaan  manusia yang berada dalam kehidupan yang cenderung mengabaikan  nilai-nilai ke-Tuhan-an. Hal ini relevan  dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia yang sangat komplek dalam hidupnya, sehingga memunculkan alienasi, baik terhadap lingkungan maupun dirinya sendiri. Padahal, sebagai makhluk yang lemah manusia  sangat tergantung kepada  Kekuatan Yang Maha Kuasa (Tuhan) untuk mengatasi berbagai  masalah kehidupan. Meninggalkan agama bagi manusia, merupakan  satu musibah besar kepada manusia itu sendiri. Sebagai Pencipta Manusia, maka tentunya Tuhan  merupakan tempat kembali dan tempat manusia mangadukan  persoalan-persoalan hidupnya.
Menurut Syeikh Fadhlalla, seorang  pendukung neo-sufisme, sebagaimana dikatakan  H.A Rivay Siregar, dalam suasana kehidupan yang menyesakkan dan mengungkung kemerdekaan ruhani, masih banyak tokoh dan pemikir yang menyuarakan  solusi dan jalan keluar, yakni  bahwa pesan-pesan sufisme Islam (tasawuf) lebih tepat dan cepat mengatasi gejolak dunia yang semakin  materialistik-konsumeristik, dengan demikian, nampaknya perkembangan  masyarakat (manusia) era modern, tidak lagi memadai  dengan disuguhi sekadar literalisme doktriner keagamaan belaka, tapi masyarakat masa kini memerlukan  pengalaman keagamaan yang lebih intens, lebih menusuk dalam  pencarian nilai dan makna karena manusia adalah makhluk yang dinamis dan selalu beradaptasi dengan segala macam situasi dan kondisi untuk meraih  kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu jalan tasawuf  dirasakan dapat dijadikan sebagai sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya  mencapai keutuhan manusia.
Beranjak dari kondisi manusia di atas, menurut M. Solihin, tasawuf merupakan alternatif paling tepat mengatasi aneka problematika manusia, dengan pertimbangan, yaitu:
Pertama, kehidupan asketis  adalah basis yang bersifat fitri pada manusia. Ia merupakan potensi ilâhiyah dalam diri manusia yang berfungsi diantaranya untuk mewarnai corak peradaban dunia. Tasawuf mampu mewarnai segala dimensi kehidupan, baik sosial dan politik maupun peradaban.
Kedua, tasawuf berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol manusia agar dimensi kemanusiaan  tidak ternoda oleh modernisasi yang mengarah kepada dekadensi moral, sehingga tasawuf mengantarkan manusia untuk menuju akhlak yang sempurna dan terpuji.
Ketiga, tasawuf mempunyai relevansi dengan masaalah  kehidupan manusia modern, karena keseimbangan tasawuf memberikan  kesejukan batin dan ketaatan kepada Allah SWT.
Berdasarkan elaborasi di atas, terlihat bahwa tasawuf dibutuhkan oleh manusia modern dalam rangka  menghadapi tantangan  modernitas. Sebab, bagaimanapun juga, yang hilang dari manusia modern yang telah menguasai teknologi adalah nilai-nilai ke-Tuhan-an. Nilai-nilai ke-Tuhan-an itu terdapat dan dipupuk dalam  tasawuf secara mendalam. Nilai-nilai spiritual tasawuf telah lama  disajikan dan diaplikasikan  oleh para sufi mulai dari zaman klasik sampai zaman modern sekarang ini. Dengan demikian,  tasawuf  ialah ajaran-ajaran  yang berupaya berada sedekat mungkin dengan Allah agar manusia mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya. Terkait dengan itu secara keilmuan, masalah kebahagiaan pernah menjadi perdebatan sengit dan panjang-lebar dikalangan pemikir Islam dan Barat. Namun pada hakikatnya, mereka sama-sama memberikan konsep dan pemikiran  yang utuh mengenai pengertian dan langkah-langkah meraih kebahagiaan.
Menurut pandangan Islam, kebahagiaan terkandung dalam istilah sa’adah  dan ia mempunyai pertalian dengan kehidupan  di dunia dan di akhirat,  kebahagiaan  di akhirat merupakan  puncak kebahagiaan yang tiada berakhir  iaitu kesenangan  dan nikmat yang berkekalan yang dijanjikan Allah semasa hidupnya di dunia ini,  penyerahan diri kepada Allah dan taat segala perintah dan larangannya.  Justeru  itu pertalian yang rapat di antara kebahagiaan dunia dan akhirat  adalah merangkumi pertama, diri,  iaitu  ilmu dan sifat yang terpuji, kedua, badan  iaitu kesihatan badan keselamatan  dan yang  ketiga adalah selain dari diri dan badan  iaitu  materiadan lain-lain, kesemuanya ini berperanan menggalakkan kesejahteraan diri dan badan  serta perkara yang berkaitan dengannya.
Dalam maksud yang sama  Allah SWT berfirman dalam surah Al-Fajr, ayat 27 hingga  30:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ   ﴿٢٧﴾   ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً    مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي   ﴿٢٩﴾    وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Artinya :
 “ Wahai insan-insan yang berjiwa tenang, kembalilah  kepada Tuhanmu  dengan hati yang puas lagi  diredainya, maka masuklah kamu ke dalam kumpulan hamba-hamba ku yang berbahagia  dan masuklah kamu kedalam SyurgaKu” 


** Artikel ini adalah sebahagian dari introduksi  yang penulis  paparkan dalam Tesis Master( S2) nya